Cita-cita adalah suatu impian dan harapan seseorang
akan masa depannya, bagi sebagian orang cita-cita itu adalah tujuan hidup dan
bagi sebagian yang lain cita-cita itu hanyalah mimpi belaka. Bagi orang yang
menganggapnya sebagai tujuan hidupnya maka cita-cita adalah sebuah impian yang
dapat membakar semangat untuk terus melangkah maju dengan langkah yang jelas
dan mantap dalam kehidupan ini sehingga ia menjadi sebuah akselerator
pengembangan diri namun bagi yang menganggap cita-cita sebagai mimpi maka ia
adalah sebuah impian belaka tanpa api yang dapat membakar motivasi untuk
melangkah maju. Manusia tanpa cita-cita ibarat air yang mengalir dari
pegunungan menuju dataran rendah, mengikuti kemana saja alur sungai membawanya.
Manusia tanpa cita-cita bagaikan seseorang yang sedang tersesat yang berjalan
tanpa tujuan yang jelas sehingga ia bahkan dapat lebih jauh tersesat lagi. Ya,
cita-cita adalah sebuah rancangan bangunan kehidupan seseorang, bangunan yang
tersusun dari batu bata keterampilan, semen ilmu dan pasir potensi diri.
Bagaiman jadinya jika kita memiliki beribu-ribu batu
bata, berpuluh-puluh karung semen dan berkubik-kubik pasir serta bahan-bahan
bangunan yang lain untuk membuat rumah namun kita tidak mempunyai rancangan
bentuk rumah itu nanti. Alhasil akan tidak sesuai bahkan jauh dari kata standar.
Dahulu ada sebuah tradisi kurung ayam, balita yang
sudah berumur beberapa bulan dikurung dalam sebuah kurungan ayam yang ditutuipi
kain. Lalu di sekeliling kurungan tersebut disimpan berbagai macam benda yang
mewakili profesi seperti gitar (musisi), spidol (pengajar/guru), sarung tinju
(atlit), pesawat-pesawatan (pilot) dan lain-lain. Lalu orang tua akan
memperhatikan benda apakah yang pertama kali diambil oleh balita tersebut, jika
ia mengambil terompet maka orang tua akan beranggapan sang bayi kelak akan
menjadi seorang musisi atau berpotensi menjadi seorang musisi. Namun tampaknya
adat semacam ini jarang dilakukan lagi. Nilai yang dapat diambil dari tradisi
semacam ini adalah bahwa orang tua mempunyai peranan penting dalam
memfasilitasi anaknya untuk mengeksplorasi bakat dan minat yang dipunyainya.
Dan membantu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Cita-cita bukan hanya terkait dengan sebuah profesi
namun lebih dari itu ia adalah sebuah tujuan hidup. Seperti ada seseorang yang
bercita-cita ingin memiliki harta yang banyak, menjadi orang terkenal,
mengelilingi dunia, mempunyai prestasi yang bagus dan segudang cita-cita
lainnya. Namun seorang muslim tentunya akan menempatkan cita-citanya di tempat
yang paling tinggi dan mulia yaitu menggapai keridhaan Allah SWT.
Seperti dalam otobiografi dari Dahlan Iskan Ketegasan
sang Ayah, kelembutan Ibu, keceriaan adik kecilnya dan sahabat yang ia punya
membuat Dahlan tidak pernah mengeluh dengan kemiskinan melekat pada dirinya.
Ayah Dahlan sering berkata bahwa “kemiskinan yang dijalani dengan tepat akan
mematangkan jiwa.” Dari petuah bijak sang Ayah inilah yang memberi dorongan
agar Dahlan terus berjuang. Berjuang menuntut ilmu, karena seperti kata Ustaz
Ilham, bahwa kemiskinan bukan halangan untuk mereguk ilmu sebanyak mungkin.
Serta berjuang keras meraih cita-cita terbesarnya untuk memilki sepatu dan
sepeda. Dahlan kecil harus rela kakinya lecet-lecet akibat jalan berkilo-kilo
meter menuju ke sekolah tanpa menggunakan alas kaki. Dahlan juga tidak tau
bagaimana rasanya menggunakan sepatu.
Hasil dan kerja kerasnya mampu untuk menjadikannya
sebagai tokoh inspiratif bagi siapapun yang menginginkannya.
0 komentar:
Posting Komentar